pengertian Trias Politica

Bicara tentang ajaran Trias polica, maka muncul dua tokoh/pemikir
dunia yang sangat terkenal yaitu Montesquieu (1689-1755) dan John Locke
(1690). Kedua tokoh ini mempunyai hubungan sebagai guru dengan murid.
Montesquieu adalah guru dari John Lucke atau John Lucke adalah siswa dari
Montesquieu.

   
Bicara tentang keberadaan antara kedua tokoh ini, ketika kita bicara
dalam hubungannya dengan keberadaannya sebagai guru dan siswa, maka
yang paling mengenak untuk dibicarakan dalam hubungannya dengan
negara, yaitu munculnya teori Trias Politica dengan masing-masing
memberikan pendapatnya mengenai pentingnya pembagian kekuasaan di
dalam suatu negara hukum yang demokratis, yang dimaksudkan agar tidak
terjadi penyalagunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara, untuk menghindari absolutisme kekuasaan di dalam negara tersebut
harus dipisahkan dan dilaksanakan oleh setiap cabang kekuasaan yang
dipegang oleh lembaga yang berbeda. Montesquieu adalah seorang filsuf
Perancis mengemukakan tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan Legislatif,
kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif, atau kekuasaan membuat
Undang-Undang, kekuasaan melaksanakan Undang-Undang, dan kekuasaan
mengawasi jalannya Undang-Undang. Kekuasaan membuat Undang-Undang
biasanya dipegang oleh Parlemen/DPR, kekuasaan menjalankan Undang-
Undang dijalankan pemerintah, dan kekuasaan mengawasi jalannya Undang-
Undang berada ditangan lembaga peradilan atau Mahkamah Agung.


Sedangkan menurut John Lucke seorang yang berkebangsaan
Inggeris membagi kekuasaan dalam tiga bagian, namun pembagian antara
John Lucke dengan Montesquieu terdapat perbedaan. Menurut John Lucke
membagi kekuasaan menjadi kekuasaan Legislatif atau kekuasaan membuat
Undang-Undang, yang kekuasaan ini berada ditangan parlemen atas nama
rakyat, Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk mengadili, dan
kekuasaan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan dengan
bangsa lain. Baik pembagian kekuasaan menurut Montesquieu maupun John
Lucke menurut Immanuel Kant disebut konsep Trias politica.


Trias politica kedua tokoh di atas bisa jadi berbeda, sebagai akibat dari
cara berpikir atau kondisi dan latar belakang kenegaraan yang berbeda dari
kedua tokoh itu. Montesquieu yang berkebangsaan Perancis dan John Lucke
berkebangsaan Inggeris.


Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesetuan Republik Indonesia
Tahun 1945, Pemisahan kekuasaan dapat dibedakan menjadi pemisahan
kekuasaan dalam arti material dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.

Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan
secara tegas dalam tiga cabang kekuasaan, artinya antara kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan Yudikatif benar-benar terlepas
antara tugas cabang yang satu dengan cabang lainnya. Tidak boleh ada
hubungaan kerjasama yang dapat menimbulkan penyimpangan pelaksanaan
kekuasaan yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai contoh pelaksanaan
pembagian kekuasaan di Indonesia pada masa sebelum diamandemen
Undang-Undang Dasar 1945, dimana kita dapat melihat bagaimana
keberadaan Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan dalam hubungannya dengan pembuatan Undang-Undang
menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa
Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Demikian pula dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Artinya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan
harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, padahal ketua
Mahkamah Agung juga diberikan status jabatan sebagai menteri sehingga
menjadi pembantu presiden (kejadian pada masalah Kabinet Gotong
Royong). Ini adalah beberapa contoh kaburnya atau terjadinya penyimpangan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebelum memasuki era reformasi.


Setelah era reformasi bergulir, dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, yang kedaulatan rakyat dibagi secara horizontal dengan
cara pemisahan (Separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan dan
fungsi lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Dasar sederajat dan masing-masing saling mengawasi dan mengimbangi
atau dikenal dengan Prinsip (checks and balances), artinya kekuasaan
legislatif kekuasaan membentuk Undang-Undang bergeser letaknya dari dari
kekuasaan presiden menjadi kewenangan DPR. Pasal 5 ayat (1) berubah
menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat”. Dan pasal 20 (1) menyatakan, “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Pergeseran tersebut berkaitan pula dengan doktrin pembagian kekuasaan
versus pemisahan kekuasaan. Sebelum diadakan perubahan UUD 1945,
kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sebagai penjelmah
seluruh rakyat. Dari lembaga tertinggi inilah, kekuasaan dari rakyat itu
dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang lainnya secara
distributif. Oleh karena itu paham yang dianut bukan pemisahan kekuasaan
melainkan pembagian kekuasaan secara vertikal atau biasa dikenal dengan
istilah “distribution of power”.

Jelaslah bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita
setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, tidak lagi melakukan sistem pembagian kekuasaan
“distribution of power” melainkan telah melakukan dengan sistem
pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separaticion of power”.
Dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disertai dengan penerapan
prinsip hubungan saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara,
kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD. DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan
pemerintahan. DPR memegang kekuasaan membentuk UU, namun demikian,
setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dibahas dan mendapat

persetujuan bersama antara

DPR dan Presiden sehingga terdapat

keseimbangan. Sedangkan DPD hanya dapat mengajukan RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemekaran
daerah, pengelolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.


Dalam hubungannya dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh
Presiden, namun harus dijalankan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar
dan sesuai peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping itu prinsip
saling mengawasi dan mengimbangi, Presiden juga berhak mengajukan RUU
kepada DPR.


Berkaitan dengan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan Badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung  berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UU, dan
mempunyai kewenang lainnya yang diberikan oleh UU. Pengujuan terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU adalah bentuk pengawasan dan
untuk mengimbangi kewenangan peraturan yang dimiliki oleh eksekutif.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang

Dasar.

Sedangkan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan

pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang

0 komentar:

Post a Comment