Faithless



September sudah berlalu, ada yang datang dan pergi begitulah hidup. Adakah rasa di sini yang kusesali, aku tak mengerti seperti gelayut tanya yang selalu membutku terjaga menemani sang hitam malam. Serasa aku kembali ke beberapa saat yang lalu, saat semua awal masih ku anggap semudah itu. Kulampaui sejengkal langkahku terkadang dengan putaran roda penuh karna masih kucari di sela kesempatan itu, walau sekecil lubang jarum.

Banyak sekali perbedaan di luar sana, membuat kita atau memaksa untuk merasa bebas yang sebenarnya tidak, kebebasan memang bisa di bilang sederhana tapi buatku itu hal yang rumit serumit ketika kita harus mulai berpura-pura tuli agar tak mengelak atas celaan yang selalu mrongrong hidup kita. Setidaknya aku bukan orang buta yang melihat sisi dunia ini dari keindahaanya, bisa di bilang untuk seorang yang pesimis aku juga cukup optimis. Meski sebagian mengatakan jika memang hal selalu bisa di raih dengan optimis, padahal untuk mengakui kenyataan kita harus benar-benar jujur akan yang sebenar-benarnya terasa di sini, Hati....

Tergetar karena visi kelelembutan senyum itu seperti merengkuh bayang yang memang bukan seperti siluet yang berbentuk konstan. Hey yang Mulia apakah benar kau mendengarku kali ini untuk beberapa keinginanku, kuharap engkau mendahulukan yang ini. Tersiksa itu seperti ketika senyum terindah yang ada di depanmu bukan untukmu, ataupun senyum indah lainya. Haruskah aku mengeluh? Tentu tidak! Karna katanya yang Mulia mengabarkan jika usaha akan menemukan hasih. Hasil.....apa?

Yang kupertanyakan adalah esoku akankah masih bisa ku lihat indah mentariku, tetap seperti seharusnya. Akupun mengerti jika waktuku bersama surga-dunia-ku tak lama lagi akan menemui ujungnya. Bukan mampukah tapi terbiasakan, setengah mati pasti akan ku manjakan diriku dengan pilu. Lumpuhkan jantung ini agar aku tak merasa aliran yang selalu membuatku nyaman, senyaman seluruh rasa ini mengalir di seluruh ujung-ujung nafasku. Takan ada alunan indah lagi dalah dada ini ataupun nada di telinga seperti dulu, aku sadar tak bisa ku peluk bahkan khayalanku tentangmu di setiap mimpi2 malamku selalu.

Tersiksa memang selalu seperti ini, dan hanya bisa memohon dengan sujud simpuhku padaMu Yang Mulia. Setiap desah ayat yang keluar dari mulut ini selalu aku panjatkan harapku padaMu. Masih mencari, masih mencari dan selalu masih seperti seharusnya yang selalu aku rasa di dalam pencarianku, sebuah tanda kehampaan tanpa adanya cerah kabulnya harapan.

Seandainya saja ada senyum untuku tak anakan ku ulang apapun yang membuat senyum itu terenggut dari kelopak indahnya bungamu. Sekuat apapun selalu kata-kata itu sulit menjadi nyata, semoga kamu mengerti suatu saat manusia seperti akupun memiliki hal yang tak sama dengan mereka, dan aku tak menawarkanmu cahaya. Hanya manawarimu mencari cahaya, bukan di sini tapi di dalam ini.

0 komentar:

Post a Comment